Ilustrasi (foto: Okezone)
JAKARTA - Kasus penembakan di lahan PTPN kembali terjadi. Kali ini bentrokan sengketa lahan tersebut berujung pada tewasnya seorang bocah bernama Angga Darmawan (12), di Limbang Jaya, Ogan Ilir, Sumatera Selatan.
Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Abetnego Tarigan menjelaskan, penembakan di PTPN VII Cinta Manis bermula karena polisi melakukan tindakan semena-mena di desa Limbang Jaya. Menurutnya, peristiwa penembakan itu merupakan puncak dari rangkaian bentrokan yang terjadi sejak lama.
Abetnego menerangkan, secara umum proses perampasan tanah rakyat oleh PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) VII terjadi sejak 1982 dengan cara yang relatif sama di setiap desa, yakni warga tidak memiliki pilihan selain pasrah ketika kebun karet dan nanas mereka digusur oleh PTPN VII tanpa ganti rugi yang layak.
Menurutnya, proses ganti rugi pada masa orde baru diakui warga kerap diwarnai tekanan, intimidasi dan sikap refresif aparat keamanan. "Ganti rugi itupun sangat tidak adil, contohnya dari 5 hektar lahan, hanya 1 hektar saja yang diganti, lebih parah hingga saat ini masih ada tanah warga yang belum diganti rugi oleh pihak PTPN VII," sambungnya.
Sebetulnya, lanjut Abetnego upaya dialog dan mediasi telah ditempuh warga, namun pihak PTPN VII selalu mengulur waktu dan tidak pernah memberi kepastian yang tegas. Dari luas lahan 20.000 ha yang diusahakan PTPN VII Cinta Manis hanya 6.000 hektar memilki Hak Guna Usaha (HGU) berlokasi di daerah Burai kecamatan Rantau Alai. Dengan demikian maka, hanya 6.500 hektar saja dari luasan penguasaan PTPN VII yang tercatat sebagai aset negara dan dibayarkan keuntungannya kepada negara, sedangkan sisanya seluas 13.500 hektar tidak diketahui digunakan atau diperuntukan untuk apa?
"PTPN tidak memiliki legalitas hukum yang sah, sehingga tidak punya HGU. Sedangkan HGU sendiri merupakan alat pemerintah untuk memperolah penghasilan negara. Sebagai state own company seharusnya PTPN VII bekerja untuk mensejahterakan warga bukan menyengsarakan dan menindas warga. Pimpinan PTPN VII harus bertanggung jawab atas gugurnya korban jiwa akibat kerakusan PTPN VII," jelas Abetnego saat dihubungi Okezone, Sabtu (28/7/2012).
Bahkan pada pertemuan antara warga dengan jajaran BUMN pada 16 Juli 2012 seperti tak berarti. Lembaga yang berada di bawah naungan kementerian BUMN itu menolak usulan warga yang meminta pembentukan tim penyelesaian Konflik Agraria dengan tugasnya melakukan pendataan ulang dan pengukuran ulang terhadap lahan PTPN VII secara keseluruhan sesuai dengan HGU.
Rangkaian Kejadian Sebelum Penembakan versi WALHI
Selasa, tanggal 17 Juli 2012, sekitar jam 08.30 WIB, Polisi dari Kepolisian Sumatera Selatan mulai dikerahkan untuk datang ke wilayah sengketa di lokasi pabrik gula PTPN VII, di Kabupaten Ogan Ilir.
Sejak saat itu Polisi melakukan penangkapan paksa terhadap warga desa, bahkan seorang Ibu dan Bayinya umur 1,5 tahun ditangkap dan dibawa ke markas polisi resor Ogan Ilir pada tanggal 22 Juli 2012 yang baru lalu.
Setiap saat warga desa diteror oleh pasukan Brimob Polda Sumsel, dan dilakukan penangkapan-penangkapan warga desa.
Hingga tanggal 26 Juli 2012 sudah 30 warga desa yang ditangkap polisi secara paksa.
Tanggal 27 Juli 2012, sekitar jam 16.00 WIB, terjadi bentrok antara warga dengan polisi karena polisi melakukan tindakan semena-mena di desa Limbung Jaya, Polisi menembakan senjata mereka secara membabi buta sehingga mengakibatkan Angga Darmawan tewas tertembak di kepala saat lari keluar dari game centre karena mendengar keributan.
Saat melihat Angga terjatuh, warga mencoba menolong, tetapi dilarang oleh polisi. Tembakan serampangan polisi juga mengakibatkan dua orang perempuan (1 orang berumur 16 tahun bernama Jesica, dan 1 orang ibu), serta orang laki-laki bernama Rusman terluka parah.
(ugo)
0 comments:
Post a Comment