Wednesday, June 6, 2012

Ketan Bakar

Ilustrasi (Foto: Feri Usmawan/Okezone)
Ilustrasi (Foto: Feri Usmawan/Okezone)

HUJAN baru saja berakhir. Aku khawatir bila hujan tak berakhir. Sedari tadi anakku berdiri di depan jendela rumah. Seperti menunggu sisa hujan diserap tanah. Mungkin, bila hujan tak berakhir, anakku akan memaksa dicarikan ketan bakar. Menarik-narik bajuku sambil merengek-rengek. Itulah sikap kekanak-kanakannya, anak masa sekolah kelas dua SD. Seperti dua hari yang lalu, aku terpaksa keluar rumah selepas azan maghrib untuk mencari ketan bakar.

Untung hujan berakhir, dan sisa-sisa hujan belum habis ditelan tanah. Pun masih menggenang di lekukan jejak-jejak kaki manusia.

Pedagang ketan bakar langganan kami melintasi gang kecil di depan rumah setiap dua hari sekali. Tandanya pedagang ketan sedang lewat adalah bunyi kentongan kecil. Bunyi itu sering membuat anakku lari ke dapur. Kadang, pedagang ketan yang bernama Mang Dede itu sudah tahu harus mampir ke rumah kami tanpa dipanggil.

Bunyi kentongan semakin dekat. Itu Mang Dede akan lewat. Anakku meminta uang kepadaku, lalu mengambil wadah ke dapur.

“Mang, beli lima ribu,” ujar anakku, sembari memberikan uang lima ribu yang diletakkannya di dalam wadah, kepada Mang Dede.

"Pasti mau sepuluh ya.”

Aku melihat transaksi pembelian itu dari balik jendela. Sama seperti posisi anakku tadi saat menunggu Mang Dede lewat.

Mang Dede berjalan menjauhi rumah kami, sedangkan anakku masuk ke rumah membawa ketan bakar di dalam wadah. Telapak kaki Mang Dede menginjak genangan air, tapi Mang Dede tidak peduli. Kotak dagangannya yang bersegi empat, sebelah depan dan sebelah belakang, mengayun ke atas lalu ke bawah yang membuatku rindu kepada lelaki.

“Bu, ini ketannya,” kata anakku yang menawarkan ketan bakar dari pedagang yang ramah itu.

“Iya..”

Wangi ketan bakar mungkin melebihi wangi parfum. Mang Dede memang hebat. Dia menebarkan wangi dari gang ke gang. Dia mengayunkan kotak dagangannya yang tertuliskan nama “Ketan Bakar Pada Suka”. Bagai tarian yang akan dirindukan banyak orang. Wanginya. Ayunannya.

            ***
Siang baru saja selesai dengan matahari. Sepotong bulan sudah mengintip untuk memulai pekerjaannya. Di luar aku menunggu suamiku datang dengan harapan tidak ada kabar mendung darinya.

“Aku ambilkan air ya,” kutawarkan air untuk melegakan perjalanan sehariannya begitu ia datang memasuki rumah. “Makasih.” “Aku ingin mendengar kabar dengan hasil yang cerah,” sambil berjalan ke dapur aku berharap sesuatu padanya.

Sudah beberapa bulan pernikahan kami, yang awalnya ditolak oleh kedua orangtua kami, belum menghasilkan suatu pekerjaan pun untuk memenuhi kebutuhan perut kami. Aku tak memiliki pekerjaan. Sementara suamiku hanya seorang pengangguran. Pernikahan bukanlah jalan yang harus ditempuh dengan pekerjaan. Atau, pekerjaan bukanlah suatu jalan menuju pernikahan.

Hanya karena aku merasa nikmat dan ketenangan yang susah untuk diungkap melalui rentetan kata-kata, maka aku rela dinikahinya. Malam ini dia menunjukkan kepada semua orang, tak terkecuali nanti kepada orangtua kami, bahwa pernikahan kami adalah sungguh-sungguh. Sedari pagi suamiku berjalan mencari pekerjaan, entah ke mana aku tak tahu.

“Bagaimana?” tanyaku sambil memberi segelas air putih.

“Belum ada yang pasti. Dari teman ke teman pun hasilnya belum ada yang pasti. Harus tunggu sampai minggu depan.”

“Maksudnya?”

"Mencari pekerjaan itu tidak mudah. Kepastiannya minggu depan. Tadi ada teman sekolah menawari pekerjaan. Aku langsung penuhi syaratnya di tempat. Ya, lumayanlah. Cuma jadi cleaning service,” jawabnya, yang mengkhawatirkan bagiku. Lebih baik aku beranjak ke kamar, pikirku.

Malam itu aku tidur lebih dulu. Tak ingin mengganggu pikiran suamiku. Pikirannya terus berkelit. Nada bicara dan raut bicaranya mengesahkan bahwa pikiran sedang berkelit.

Pagi-pagi ada wewangian yang menghampiri hidungku. Membangunkan aku. Suamiku tidak ada lagi di sebelah, di kasur tidur yang tipis tempat kami tidur berdua. Kulihat hanya jejak tidurnya semalam. Bantal kusut dan kain sarung kusut.

Di dapur ada sesuatu, seperti bau sesuatu yang dibakar. Ternyata suamiku membakar gemblong.
“Pagi-pagi sudah membakar gemblong. Dari mana gemblongnya?”
“Kemarin aku singgah ke rumah teman, dibekalinya aku gemblong-gemblong ini.”

Kami berdua menyiapkan sarapan. Saling kerja mempersiapkan kebutuhan sarapan, meski bahan sarapan itu tak seberapa. Di atas meja sudah terhidang teh manis dan gemblong bakar. Aku duduk di sebelah suamiku. Meski tak istimewa, kami selalu sempatkan sarapan apa pun yang bisa dijadikan sarapan. Suamiku memakan satu gemblong bakar.

“Gemblong jadi ketan bakar,” katanya sambil mengunyah.
“Apa aja resepnya?”
“Gak ada. Cuma gemblong ditambah kelapa parut. Tadi aku beli kelapa parut ke warung.”

Kami saling bicara sembari memakan ketan bakar. Membicarakan pekerjaan. Membicarakan masa depan yang saling bergantung pada suatu pekerjaan. Apalagi harus menunggu selama seminggu perihal kepastian untuk bekerja. Masa seminggu itu sulit dan panjang jika harus menunggu sampai hari yang diinginkan tiba.

“Mungkin aku harus berdayakan diri sendiri,” suamiku berkata.
“Maksudnya?”
“Aku bisa membuat ketan bakar ini, seharusnya aku bisa jadi pedagang ketan bakar keliling.”

Ide suamiku yang muncul tiba-tiba di sela-sela sarapan dilaksanakannya siang itu juga. Entah apa yang akan dibuatnya. Papan-papan kecil dan kayu balok kecil dibawa entah dari mana, lalu dibentuk sedemikian rupa.

Sesekali aku memerhatikan suamiku dari balik jendela saat bunyi palu dan gergaji di tangannya menghasilkan sebuah kotak. Sesekali pula senyum tanpa diketahuinya. Aku tak pernah mengeluh apapun keinginan dan tingkahnya. Apalagi ini menyangkut pekerjaan. Pekerjaan itu adalah harga diri.

Segalanya telah disiapkan. Kotak untuk membawa dagangan berkeliling, bahan mentah ketan bakar, arang-arang kecil, pemanggang, kipas, dan rute-rute yang akan dilalui. Semua telah dipersiapkan untuk suamiku memulai jadi pedagang ketan bakar.

            ***

Di wadah yang terletak di atas meja ketan bakar tersisa dua lagi. Aku baru makan dua potong. Anakku sisanya. Dia memakan ketan bakar dengan tak banyak bicara. Kadang aku menyukai pendiamnya anakku yang seperti ayahnya, tetapi kadang kala aku tak menyukai sikap itu. Karena pendiamnya itu suamiku tak banyak bicara soal sakit yang dideritanya, ketika anak kami berusia setahun, hingga sakitnya bertambah parah yang mengakibatkan dirinya tinggal jasad.

Kedua ketan sisa yang di wadah pun dilahap oleh anakku. Pada ketan terakhir, jam dinding dilihatinya. Entah apa yang dipikirkannya. Sementara aku pura-pura tak melihati tindakannya. Mataku entah ke mana, seperti memerhatikan suara-suara kaki orang-orang yang melintasi gang kecil di depan rumah.

Habis ketan, hingga di mulutnya pun habis. Sementara aku masih duduk di kursi yang berhadapan dengannya dan dipisahkan sebuah meja kecil, aku masih memerhatikan sikap yang serupa ayahnya itu. Anak yang serupa cerminan orangtuanya ini memiliki sikap sedikit bicara banyak bertindak. Ia pergi ke dapur membawa wadah bekas ketan. Ia muncul lagi ke pandanganku dengan membawa handuk di bahu.

“Bu, aku mau ngaji. Nanti ibu kerja?”

“Malam ini Ibu kerja di rumah. Baju-baju mereka yang mau dicuci udah dibawa ke sini.”

Ditanyainya diriku, Ibunya yang sering tak ada di rumah ketika ia pulang sehabis mengaji. Kunci selalu kutitipkan pada tetangga. Kadang kala sehabis azan Isya aku tak di rumah ketika dirinya pulang. Pekerjaan mencuci pakaian di rumah orang yang menempahku untuk menjadi pencuci pakaian sekeluarga mereka adalah pekerjaan sehari-hari. Untuk menjaga harga diri, meski hanya seorang babu cuci. Harga diri bagiku adalah kerja sungguh-sungguh dan gigih, tanpa berharap belas kasih. Pun tanpa bermalas-malas.

Anakku telah pergi ke tempat pengajian. Sebelum azan maghrib ia pergi. Sementara aku masih duduk diam di kursi. Belum beranjak dari tempat semula aku dan anakku memakan ketan baker tadi.

Di luar tampak sepi dan buram. Air-air sisa hujan masih ada tergenang sedikit yang terlihat karena disoroti cahaya lampu. Sesekali orang melintasi gang depan beranda rumahku. Bunyi hentakan kakinya kucermati. Bunyi hentakan kaki yang sudah kuhapal berharap segera datang dengan bunyi yang semakin keras di telinga.

Tepat sekali. Sekian kali bunyi hentakan kaki orang yang tak kukenal lewat dari depan beranda rumah, akhirnya kali ini bunyi hentakan kaki itu kukenal.

Dia lelaki. Dirinya berdiri di beranda rumah, membuat tubuhku terasa ada yang menggeliat seperti cacing. Dialah orang yang kutunggui sedari tadi. Setelah meletakkan kotak dagangannya yang bertuliskan “Ketan Bakar Pada Suka” ia bergegas menapaki beranda rumah ke ambang pintu. Kubukakan pintu untuknya.

Oleh: Uc. Pengembara
Pegiat Komunnitas Langkah, Jatinangor.

(Bagi Anda yang memiliki cerita pendek dan bersedia dipublikasikan, silakan kirim ke alamat email: news@okezone.com)

(//ful)

Ketan Bakar Gallery

Ketan Bakar Ketan Bakar Ketan Bakar Ketan Bakar Ketan Bakar Ketan Bakar Ketan Bakar

0 comments:

Post a Comment