Ermawati, korban banjir bandang di Padang (Foto: Rus Akbar/okezone)
PADANG- Ermawati hanya bisa menatap rumahnya yang kini tinggal puing. Dengan tatapan kosong dan menggendong anaknya Musliman (2), wanita berusia 40 tahun itu merasa tak percaya atas musibah banjir bandang yang menerjang rumahnya.
Bagaimana tidak, Ermawati dan keluarga tengah menyiapkan makanan berbuka atau takjil setelah seharian berpuasa. Sejumlah makanan siap santap sudah terpajang rapih di atas meja makan.
”Tempat kita duduk ini adalah ruang tengah, di sinilah disajikan makanan itu,” tutur Ermawati saat ditemui Okezone di puing rumahnya, Rabu (25/7/2012).
Namun saat menanti berbuka puasa, justru kenyataan pahit yang dialaminya. Sekira pukul 18.30 WIB, suara gemuruh tiba-tiba datang dari arah hulu Sungai Batang Kuranji.
Air berwarna hitam pekat dan mengeluarkan bau busuk bergulung-gulung menuju ke rumahnya. Tak mau ambil risiko, Ermawati beserta suami dan anaknya kemudian keluar rumah.
“Galodo (banjir bandang) tibo, galodo tibo! Itulah teriakan warga saat itu,” ungkapnya.
Air bah beserta kayu dan batang kelapa larut bersama dengan kuatnya arus. Air terlebih dahulu menghantam musala dekat rumahnya, kemudian bagian rumah Ermawati dihantam dengan keras oleh kayu dan batu.
”Berlahan-lahan rumah kami di sini tenggelam yang tinggal hanya bagian depan, makanan untuk berbuka puasa itu ikut dibawa hanyut,” ujar wanita ini sambil menahan air mata.
Kamar tidur, ruang tengah, dan dapur diterjang air bah tersebut. Tidak ada satu barang pun yang dapat menahan derasnya arus air. Tatapan Ermawati dan keluarga seakan tidak lepas saat air bah tersebut melululantahkan bangunan rumahnya.
Penderitaan itupun berakhir tengah malam. Air bah itu susut dan warga berani kembali ke rumah untuk melihat kondisi rumahnya yang hancur.
”Tak ada yang bisa diselamatkan di rumah sebab pakaian dan makanan serta perabotan lainnya sudah habis dibawa air,” katanya.
Tak hanya rumah Erma yang diterjang banjir bandang itu, rumah adiknya Enen (38) yang terletak di samping rumahnya ikut dihantam gelombang. Untuk sementara mereka tinggal di rumah saudara ibunya di daerah itu.
”Kami tidak tahu bagaimana membangun rumah lagi, suami saya yang petani sawah, hasil tani hanya bisa untuk biaya makanan sehari-hari. Satu-satunya kami berharap dari pemerintah segera memberikan bantuan untuk membangun rumah,” harapnya.
(kem)
0 comments:
Post a Comment