Ilustrasi (Okezone)
JAKARTA - Pemerintah hingga kini masih berupaya memulangkan buronan kasus hak tagih (cessie) Bank Bali, Djoko Tjandra. Ada sejumlah opsi yang bisa dilakukan pemerintah untuk memulangkan Djoko yang sudah berpindah kewarganegaraan menjadi Papua Nugini itu.
"Pertama, memonitor pergerkan DT (Djoko Tjandra) ketika pergi keluar PNG," ujar pakar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana, kepada Okezone, Rabu (25/7/2012) malam.
Ditambahkannya, Djoko Tjandra merupakan pelaku bisnis, yang bukan tidak mungkin bisa saja bepergian ke luar negeri. Pada saat itu, pemerintah bisa berkoordinasi dengan negara setempat untuuk memulangkan buron kasus BLBI itu.
"Dia kan pelaku bisnis dan biasanya berpergian ke LN. Nah ketika dia ke LN maka Indonesia bisa minta ke negara setempat untuk diekstradisi, meski DT (Djoko Tjandra) tidak lagi WNI," jelasnya.
Opsi kedua, yang mungkin bisa dipertimbangkan oleh pemerintah ialah menculik yang bersangkutan. Namun, cara ini dinilai tidak efektif dan bisa berdampak buruk pada hubungan bilateral antara RI-PNG.
"Kedua ya diam-diam diculik. Tapi konsekuensinya hubungan Indonesia-PNG akan rusak. Belum lagi pengacara DT (Djoko Tjandra) ketika sudah di Indonesia akan mempermasalahkan secara hukum. Upaya ini kurang tepat," tutupnya.
Sebelumnya, pemerintah Indonesia telah mengirim Mutual Legal Assistance (MLA) terhadap pemerintah Papua Nugini. MLA merupakan perjanjikan antarnegara untuk memulangkan aset yang dikorupsi. Perjanjian tersebut juga menyangkut soal memulangkan koruptor yang menjadi buron ke negara asal.
Kasus Djoko Tjandra bermula ketika Bank Bali yang dilikuidasi tidak mampu mengembalikan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada 1998. Lalu bank itu mengalihkan tagihannya (cessie) di Bank BDNI Bank BUN dan Bank Bira senilai Rp3 triliun, kepada PT Era Giat Prima (EGP) milik Djoko Tjandra. Uang yang tertagih dari perjanjian ini sebesar Rp900 miliar.
(put)
0 comments:
Post a Comment