Ilustrasi (Agung/Okezone)
SETIAP malam, dan semua orang pasti tahu, suara jangkrik adalah suara hiasan malam. Kadang sehabis hujan muncul sesekali suara kodok. Suara-suara itu selalu muncul di banyak tempat, termasuk di desa tempat tinggalku dan tempat tinggal kekasihku. Kami sama-sama berasal dari desa. Ya, kami sama-sama dari desa tetapi tidak sedesa. Dan, tidak jauh pula jarak desa kami.
Malam ini mungkin berbeda. Aku keluar rumah menunggu penjaga ronda malam melewati rumah. Jarak antar rumah warga di desa ini memang tidak begitu banyak dan padat. Tidak begitu banyak pula kejahatan. Karena, kejahatan akan selalu muncul seiring dengan keramaian. Bukan karena kejahatan warga kami melakukan ronda, rutinitas yang baru dijalani selama tiga hari.
Desa perbatasan. Begitu orang-orang luar desa menyebut nama desa ini demi kemudahan mengingatnya. Memang, desa ini berbatasan dengan desa yang sudah termasuk Kabupaten Sukabumi, sedang desa ini termasuk wilayah geografis Kabupaten Cianjur. Orang-orang juga sering membicarakan hal yang aneh-aneh perihal mahluk halus di desa ini.
Sejak kecil aku tinggal di desa ini, bahkan sejak lahir aku pertama kali menghirup udara desa yang dekat dengan pantai ini. Banyak cerita-cerita misterius, apalagi semasa aku kecil dulu. Teman-temanku sering bercerita tentang jenis-jenis mahluk halus: pocong, kuntilanak, genderuwo, jailangkung, dan hantu cuplung. Tetapi aku bangga, aku anak pribumi tidak mengalami hal-hal di luar panca inderaku.
Karena itu di masa senja remajaku kini tidak terlalu peduli tentang kegaiban yang membutuhkan indera di luar indera yang diberi Tuhan. Tidak kutemui cara-cara memahami kegaiban dengan indera dalam buku-buku semasa aku berkuliah di salah satu universitas negeri yang ada di Jawa Barat.
Aku menunggu penjaga ronda di halaman rumah. Biasanya pukul 22.00 WIB atau 23.00 WIB mereka akan melintas di depan rumah. Tiga atau empat orang. “Mang.” Akhirnya mereka melintas, seperti dugaan waktuku, sekarang pukul 22.00 WIB lebih.
“Eh, Jang. Kumaha damang (Apa kabar?)” salah seorang dari mereka menyambut sahutanku. “Alhamdulillah. Sae (baik), Mang.” Kami saling tegur sapa, setelah hampir dua tahun lebih tidak bertemu. Terlebih dulu pembicaraan kami tentang kondisi kota, pembicaraan tentang pengalamanku kuliah di kota. Semakin larut aku semakin ingat tujuanku menunggui mereka.
“Mang, sebenarnya tujuan ngeronda diadakan lagi apa? Dengar-dengar di sini ada keganjilan, semacam kejadian aneh-aneh gitu. Benar karena itu, Mang?” Kumulai pembicaraan serius dengan bahasa Indonesia. Karena, bila tidak, aku akan sulit melancarkan pembicaraanku.
“Iya, Jang. Empat hari lima hari lalu warga kita sering dengar yang aneh-aneh. Si Acep tah, rumah yang di ujung itu, semalaman dengarin suara laki-laki kayak mau nangis. Terus si Faris oge, anak Mang Teten, dengerin suara teriak-teriak keras waktu kencing di sebelah rumahnya sendiri. Wah, pokoknya banyaklah, Jang.”
“Aneh ya.” Sambut seorang penjaga ronda lainnya. “Makanya warga sepakat pas dikumpulin Pak Lurah untuk ngadain ronda, padahal mah udah dari tahun 90-an warga kita gak pernah ngeronda. Kalau gak salah teh, pas bapak ini seumuran Ujang warga kita terakhir ngeronda.”
Entah hasrat apa, aku tinggalkan mereka begitu saja tanpa keramahtamahan lagi. Mereka pun pergi melanjutkan keliling kampung. Ke dalam rumah, aku berpikir-pikir kembali perihal kegaiban di desa ini. Dulu memang pernah ada pembataian dukun-dukun santet di tepi pantai. Orang-orang mati dengan macam-macam cara.
Desa ini gempar hingga ke desa-desa sebelah. Ada yang mati dengan cara bunuh diri ke laut, ada yang mati dengan cara sakit yang aneh, ada yang mati dengan mencak-mencak kesakitan, dan ada pula yang tiba-tiba mati ketika sarapan pagi. Begitu ibuku menceritakan keadaan desa dahulu yang dikenal dengan desa santet ini. Hingga kecurigaan penyantetan pun diketahui, dan warga yang mengatahui langsung membantai lima orang penyantet di tebing tepian pantai.
Aku masuk ke kamar ibuku. Sungguh, aku merindui ibuku. Kupeluk. Sementara ia tidur pulas. Di sebelahnya abahku yang sudah tiga tahun mengalami stroke berat. Tidur juga dengan pulasnya. Kupeluk juga. Kurasai sakitnya abah menderita stroke. Ingin aku menangis. Aku keluar kamar meninggalkan mereka berdua, meninggalkan keinginan menangis.
Di kamar sebelah, tepat bersebelahan kamar ibu dan abah, seorang adik perempuanku yang masih gadis belia tidur memeluk bantalnya. Dahulu bantal itu sering kami rebuti. Kadang ia menangis meminta ibu untuk mengambilkan bantal guling yang kurebut dari dirinya. Semakin aku ingat masa kecil dulu, semakin aku menyedihkan diri seperti kesedihan pengemis tua yang lapar. Tak tahan kudaki kesedihan. Semakin kudekati masa lalu, semakin aku sakiti diri sendiri. Dan, kulampiaskan kesedihanku di depan rumah. Di halaman rumah. Aku menangis. Lagi dan lagi menangis.
***
Tuhan pasti memberikan nyawa hanya satu. Setiap nyawa berlaku sesuai hasrat badaniahnya masing-masing. Tapi, aku seperti bercermin yang bermain dengan nyawa sendiri. Apa aku sudah mati? Pikirku. Atau malaikat Izrail lupa mengingat identitas ruhku? Pikirku lagi.
Itu tubuhku. Tidur bungkuk ke atas meja kecil. Buku-buku berantakan. Kasur dan sarung tidak terlipat rapi. Sedangkan aku, yang berbicara ini, masih mampu melihat tubuhku bernyawa. Nadi tubuhku masih bergetar mengaliri darah yang seperti sungai tanpa musim. Kamar lampu masih menyala. Pintu kamar kontrakanku ini tampak tidak terkunci.
Aku bingung sendiri. Aku manusia yang katanya bernyawa mampu melihat tubuhku yang lain, seakan aku mengkloning diri. Kucoba merunut kejadian. Paksa diri mengingat. Paksa diri merunut yang baru saja terjadi. Susah. Tapi aku yakin harus bisa, ini bukan main-main, ini soal nyawa. Perihal nyawa bukanlah perihal yang harus dimain-mainkan.
Ya, sepertinya aku ingat. Tadi aku berbicara dengan seorang perempuan. Ia kekasihku sendiri. Kami baru menjalin hubungan sekitar setahun ini. Ia lebih tua dua tahun dari usiaku. “Aku ingin menikahimu. Apa yang akan kau jawab?”
Ya, ketika itu aku seperti diinterogasi aparat militer. Sekujur diri kaku. Tidak berapa lama, aku jawab pertanyaan itu.
“Belum bisa aku menikahimu secepat ini…” Suaraku memelas. Sungguh, aku mencintainya, karena itulah aku jawab memelas yang meminta. Cinta akan memberikan segala permintaan orang yang kita cintai. Tapi untuk urusan ini tidak. Meski cinta mampu merubah jiwa dan pikiran, tapi masih ada pertimbangan cinta untuk tidak seperti air.
Setelah beberapa hari ia diwisuda, suatu malam menelefon diriku. Aku bangga ditelefon cinta. Semakin aku jatuh cinta karena ini bagian dari serbuk-serbuk cinta. Kami berbicara panjang pada malam itu. Hingga tidak sadar jam dinding. Pembicaraan semakin gelap saat ia bercerita, “Orangtua meminta aku segera menikah.” Aku kalut. Pikiranku ribut. Siapa yang tidak bangga bila diajak kekasihnya untuk menikah? Kebangganku itu hanya sebentar saja, sebab akulah pusar keluarga. Aku harus menamatkan kuliah, sebelum nanti aku benar-benar tanggung beban keluarga.
Dalam rupa interogasi itu, ia menangis pelan. Pelan sekali sampai tidak ada yang tahu bahwa ia sedang menangis, kecuali aku. Ia merundukkan kepalanya. Seakan-akan menyesali perbuatannya sendiri. Menyesali waktu. Kudekati ia. Di dalam kesedihannya aku tunjukkan sikap cintaku agar ia tahu bahwa cinta bukan sekadar jawaban, tetapi cinta suatu sikap.
Waktu matahari mencuri celah-celah ruang menjadi pagi, aku terbangun. Aku kalut. Ia tidak ada. Ke mana, aku semakin kalut bertanya-tanya di ruang yang belum kuketahui sebelumnya. Di mana ini? Di mana dia?
Aku keluar. Di depan ruangan kecil tadi kulihat seseorang laki-laki tua. Ia tidak banyak bicara. Aku ajak ia bicara.
“Maaf, Pak,” kutegur dengan seksama. “Bapak, ini di mana ya?” Tanyaku.
“Ini rumah saya,” ia jawab santai. Matanya seperti memfokuskan pandangan ke wajahku.
“Kenapa…” Bapak tua itu memotong bicaraku.
“Kamu pasti Jajang. Semalam saya tahu kamu dari seorang perempuan yang meminta dipanggilkan khodam dirimu. Lantas saya panggil kamu ini, khodam. Kamu berpisah dari jasadmu.
“Lalu?” Aku bertanya bingung apa maksud bicaranya. Tidak mau berlarut, kembali aku bertanya “Kapan aku balik ke jasad?”
“Kamu tidak bisa balik sebelum orang yang meminta khodam kamu ini punya niat untuk mengembalikannya. Perempuan yang memintamu tadi sudah balik dua jam yang lalu, Jang.” “Saya bagaimana?” Aku bimbang yang marah.
“Bapak sudah bilang ke perempuan itu, jangan sembarang memainkan khodam. Khodam sejenis ruh yang suci. Untuk memanggil dan mengembalikan khodam tergantung pada niat yang suci. Sementara kamu di rumah ini saja dulu. Pergi kembali pun percuma. Orang-orang tidak akan bisa bicara kepadamu, kecuali orang yang sejak awal khodam keluar dari jasad. Kadang-kadang khodam dapat menampakkan diri barang sekejap, rupanya sama persis jasadnya. Itu artinya Sang Khodam dan orang yang meniatkan khodam keluar sama-sama sedang saling memikirkan keadaaan satu sama lain.”
Aku tidak bisa berbuat banyak lagi. Diriku kalut, marah, emosi, dan bimbang yang menyatu di pikiran. Kutatap kosong wajah Bapak tua di depanku sambil mengingat kekasihku yang semalam tertidur lelap saat kuselimuti dengan diriku.
***
Dikabarkan salah seorang temanku kepada ibuku, “Teh, Jajang maninggal…” Temanku mengatakan dengan perlahan dan seakan-akan takut. Kabar melalui telepon genggam itu membuat ibuku jatuh lemas. Ia menangis. Tangisannya deras sekali. Deras yang mengundang tetangga-tetangga rumahku datang.
Seketika itu pula rumahku didatangi beberapa warga. Seketika pula keluargaku berkumpul. Mereka ada yang menangis. Air dari mata yang terkenal dengan kepedihan itu menangisi aku. Mereka ada pula yang menyusun kepulangan jasadku, ke rumah kelahiran. Dan aku menangis. Ikuti mereka menangis.
Begitu mayatku tiba, semakin tinggi dan deras suara tangisan sanak saudaraku. Ibu yang paling deras tangisnya. Setibanya di dalam rumah, tubuhku yang dingin selalu dipeluk ibu. Sampai terpaksa adikku harus membujuk melepaskan pelukan dingin itu.
Setelah mayatku dikebumikan, takziah malam pertama pun dilakukan. Aku sendiri duduk di antara orang-orang yang melafalkan ayat kursi, yasin, dan doa-doa lainnya. Doa-doa mengingatkan masa-masa hidup dulu. Kematian memang akhir penyesalan yang buntu. Sungguh, doa-doa yang kudengar mengajak ingin kembali hidup seperti semula. Sampai-sampai aku iri kepada pendoa-pendoa di sekelilingku. Selama tujuh hari berturut-turut aku menahan tangisanku. Menahan emosi.
Tujuh hari sudah berlalu kematianku. Tapi sudah lebih dari tujuh hari aku menangis di desaku. Setiap malam. Aku tidak percaya ini, jasadku membusuk karena sikap seseorang yang kucintai. Sementara aku masih mondar-mandir di desa yang menganggap aku telah tiada di bumi.
Penulis: Freddy Mercury
(Bagi Anda yang memiliki cerita pendek dan bersedia dipublikasikan, silakan kirim ke alamat email: news@okezone.com)
(Freddy/Koran SI/ful)
0 comments:
Post a Comment